Selain perasaan dan hati nurani, dalam hubungan romantis juga dibutuhkan kerja nalar.
 
Andien membanting ponsel ke sofa tempat ia duduk. Ia kesal, pacarnya tidak segera membalas pesan yang ia kirim beberapa menit yang lalu. Padahal, ia merasa perlu tahu si pacar sedang di mana dan tengah disibukkan apa. Pasalnya, kemarin ia menjumpai foto dan pesan-pesan aneh di ponsel dan akun pribadi sang pacar.

Perempuan ini berkisah bahwa ia memang sengaja membuka ponsel dan akun pribadi pacarnya untuk mencari tahu. Sebab, bukan sekali itu saja sang pacar mencuranginya dan ‘bermain’ dengan orang lain di belakang hubungan mereka. Meski demikian, Andien bertahan dalam hubungannya.

“Aku sama dia pacaran bukannya baru satu-dua bulan, sudah lebih dari tiga tahun. Jadi ya, aku masih bisa percaya sih, bahwa dia bisa berubah,” katanya. 

Barangkali, Anda sering juga menemui kisah yang sama seperti kisah Andien dan pacarnya tersebut di layar kaca, atau bahkan di sekitar kita. Adanya masalah dalam hubungan romantis, baik antara sepasang kekasih maupun pasangan suami-istri, memang wajar. Namun, jika masalah sama terus terulang dan berlarut-larut, bukan tidak mungkin akan melahirkan hubungan yang tidak sehat.

Untuk mengantisipasi masalah kronis semacam itu, sesungguhnya kita bisa mengamati gejala-gejalanya. Hubungan tidak sehat sebenarnya merupakan hasil dari kegagalan berkomunikasi antar-dua orang. Hal itu bisa memicu lahirnya perilaku tak wajar seperti posesif berlebihan, keinginan untuk memeriksa ponsel tanpa izin, mengucapkan kata-kata yang meremehkan pasangan, melakukan kekerasan fisik, sampai membatasi hubungan pasangan dengan teman dan keluarganya.

Bagaimana seharusnya kita mengambil sikap jika gejala-gejala tersebut muncul?

Buruknya komunikasi yang terjadi dalam sebuah hubungan bisa dimulai dari ketidakberimbangan interaksi dan kurangnya pemahaman antarpasangan.

Keberimbangan dan pemahaman ini sangat ditentukan oleh kerja dua hal paling berharga yang dimiliki setiap manusia: hati nurani dan akal pikiran. Oleh karena itu juga, dalam menjalani hubungan romantis tidak akan cukup dengan bermodal perasaan semata, tapi juga membutuhkan kerja-kerja nalar atau logika.

Namun, dalam kenyataannya, selalu mengaktifkan nalar dalam berhubungan cinta tidaklah mudah. Michael levine, seorang penulis dan konsultan hubungan, turut menjelaskan fenomena tersebut. Ia menyatakan bahwa setiap manusia memiliki sisi emosional dan sisi logis yang berbeda. Sisi yang lebih pragmatis akan menuntun kita bertindak logis, sementara sisi emosional akan menuntun kita menjadi dramatis.

Levine juga menyatakan bahwa emosilah yang mendorong 80 persen pilihan manusia, sementara kepraktisan dan obyektivitas hanya mewakili sekitar 20 persen dari pengambilan keputusan. Kegiatan berpikir logis dan obyektif ini yang sering diabaikan dalam menjalani hubungan romantis, padahal logika bisa menuntun dalam  menjalani sebuah hubungan.

“Dengan menggunakan logika, Anda dapat memprediksi permasalahan dari awal. Jika ada yang tidak beres dengan hubungan romansa Anda, maka itu bisa ditelusuri dengan akal sehat sampai Anda tahu penyebabnya. Kalau penyebabnya sudah ketahuan, maka tugas Anda tinggal memperbaikinya,” kata Oesterie.
Ronal C dalam bukunya “Essential Logic” turut bersepakat dengan pernyataan Oesterie tersebut.

“Dengan logika, Anda bisa tahu di jalur mana Anda berada. Anda bisa memilih untuk berhenti atau melanjutkannya. Apabila Anda hanya mengandalkan perasaan saja, maka Anda tidak akan tahu kesalahan apa yang sudah Anda perbuat,” kata Pine.

Terkait hal ini, kita bisa mengingat ucapan-ucapan jamak seperti “cinta itu buta”, “jatuh cinta berjuta rasanya”, dan lain sebagainya. Sekumpulan ungkapan tersebut menyiratkan bahwa perasaan jauh mendominasi seseorang ketika tengah jatuh cinta dan menjalani hubungan romantis. Hal ini dijelaskan secara ilmiah oleh Profesor stephani dari Syracuse University.

Menurutnya, jatuh cinta membuat otak manusia mengalami euforia seperti kecanduan kokain. Hal ini terkait dengan hormon cinta seperti oksitosin. Euforia atau perasaan senang yang berlebihan ini yang menuntun seseorang sulit berpikir secara logis. Hingga kemudian menjadikan otaknya menjadi bebal dari pengaruh luar. Perkara ini juga yang menyebabkan menasihati orang yang sedang jatuh cinta adalah tindakan yang sia-sia.

Saat fase itu terjadi, hal yang terbaik yang bisa dilakukan adalah memaksimalkan nalar untuk tetap berpikir logis dan kritis. Jangan sekadar mempertahankan hubungan hanya karena Anda yakin bahwa hubungan Anda akan membaik. Logika dan kekritisan semestinya bisa memilah, mana yang berupa harapan, keyakinan, serta kenyataan. (Im)
 
Share To:

redaksi

Post A Comment: