Jakarta, Infosekayu.com- Tidak ada alat perang yang paling canggih selain media karena yang diserang oleh media ialah kesadaran publik. Begitu yang disampaikan wartawan senior Teguh Santosa saat menjadi salah satu pembicara di forum diskusi pembangunan berbasis budaya-cegah korupsi di Aula Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta, Sabtu (21/4).

"Saya ke Pyongyang, saat parade militer. Misil dan rudalnya besar-besar, tetapi media saya lihat jauh lebih powerful dibanding itu," kata Teguh Santosa yang juga Pemimpin Umum Kantor Berita Politik RMOL.

Sebagai wartawan senior, Teguh juga memaparkan bagaimana media menangkap peristiwa korupsi. Ketika media di bawah tekanan rezim, korporasi ekonomi dan kelompok lainnya maka media hanya akan melayani apa yang menjadi logika umum masyarakat yang sebetulnya tidak logis  dalam peristiwa korupsi tersebut.

Lantaran media, ungkap Teguh tidak bisa terlepas dari segitiga abadi yaitu media, korporasi bisnis dan politik. Dan wartawan bekerja di perusahaan pers atau media yang kadang kala mereka memiliki kepentingan di sektor lain.

"Misalnya pada kasus korupsi Bank Century, media yang saya pimpin sudah clear dari dulu, tetapi kalau kita lihat pemberitaan lain," ujarnya.

Pengurus PWI pusat itu mencontohkan, dimana saat Boediono sakarang menjadi "pecundang" karena belakangan sasaran kembali diarahkan olehnya saat PN Jakarta Selatan memerintahkan KPK untuk menetapkanya sebagai tersangka. Mengapa, tanya Teguh, saat lima tahun lalu Boediono bisa selamat dan sekarang tidak.

Karena ada kompromi lima tahun lalu, nah itulah kadang-kadang media menangkapnya,” ujarnya. Sehingga yang demikian itu, lanjut Teguh seperti teori nelayan yang mencari ikan teri, saat lampu patromaxnya dipindah maka ikan teri akan mengikuti dan sisi lainya gelap. Dalam pemberitaan kasus korupsi Bank Century, media yang dipimpinnya telah berteriak bahwa Boediono memiliki maksud lain dalam memberikan Bailout Cantury yang akhirnya merugikan negara Rp 6,7 triliun.

Keputusan untuk memberikan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP), itu adalah keputusan dia (Boediono) serta mengubah beberapa peraturan Bank Indonesia hanya untuk mengubah Capital Adequacy Ratio (CAR) sehingga Bank Century tidak harus diliquidasi,” jelasnya.

Sekjen Persahabatan Indonesia-Korea Utara itu ingat apa yang dikatakan Ekonom Senior Rizal Ramli, jika ingin mengakuisisi sebuah bank, cukup tinggal bayar dana dari pihak ketiga yang dalam kasus bank Century dana pihak ketiga itu hanya Rp 2,1 triliun.

Lalu jika memang niatanya menyelamatkan sebuah bank, sebetulnya prosesnya hanya perlu satu hari saja, dengan menggelar konferensi pers mengumumkan bahwa pemerintah ingin menyelamatkan bank ini, dan dibutuhkan dana sekian.

Bikin konsorsium bank plat merah, kalian kumpulkan dana sekian untuk menyelamatkan bank Century,” tandasnya. Tapi faktanya proses penyelamatan bank Century itu dari bulan November 2008 sampai bulan Juli 2009. Dengan demikian ini bukanlah praktek yang normal dalam rangka menyelamatkan sebuah bank.

Inilah praktik yang patut kita (media) pertanyakan,” harap Teguh. (im)
Share To:

redaksi

Post A Comment: