INFOSEKAYU.COM - Wakil Bupati Kabupaten Musi Banyuasin Beni Hernedi menghadiri Lokakarya Nasional menuju perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit dan perluasan wilayah kelola masyarakat melalui reforma agraria dan perhutanan sosial di Gedung Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI), Kuningan Barat, Kakarta Selatan, Senin (13/8/2018).


Pada acara tersebut Beni menyampaikan Kabupaten Muba merupakan salah satu kabupaten yang memiliki cukup luas perkebunan sawit di Indonesia dan sudah cukup banyak mendapat penghargaan.

"Yang harus kami lakukan kedepan adalah bagaimana melakukan tata kelola sawit yang baik dan berkelanjutan," ujar Beni.

Wabup Muba menambahkan selain itu fakus utama Pemkab Muba terkait perkebunan sawit yakni untuk membentuk industri hilirisasi sawit.

"Ada sekira 1,8 ton CPO dari Muba, dan itu tidak kami produksi menjadi minyak goreng. Itulah yang mnjadi fakus kami kedepan," tambahnya.

Inda Fatinaware, direktur eksekutif sawit watch menyatakan bahwa Pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla di awal pemerintahan menjanjikan program mengatasi ketimpangan Agraria. Program ini melalui nawacita menjadi bahan kampanye di tahun 2014, hadir dengan 2 skema yaitu reforma agraria dengan alokasi luasan lahan tanah yang 9 juta hektar dan perhutanan sosial adalah 12,7 hektar. Target yang tinggi ini tentunya sangat diterima dengan baik.

Namun sampai dengan tahun 2018 ini setengah dari total yang ditargetkan pemerintah belum juga terpenuhi, sehinga ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang menyisakan masa jabatan kurang lebih  1 tahun.

"Di awal pemerintahan ini, Kami terkejut dengan program reforma agraria dan perhutanan sosial yang dicanangkan pemerintah dengan target realisasi yang begitu besar.  Hal ini tentu dengan Dasar dengan kuat fakta di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat memperoleh sebidang tanah saja sangat sulit, bahkan tanah yang sudah dimiliki secara turun-menurun pun dirampas. Sehingga dengan program dan target yang begitu besar ini,  tentu menjadi pertanyaan tersendiri apakah dapat terealisasi atau tidak," jelasnya.



Indah melanjutkan bahwa, persoalan ketimpangan kepemilikan tanah, sangat jelas terjadi di sektor perkebunan kelapa sawit. Satu perusahaan perkebunan kelapa sawit bisa memiliki ribuan hektar tanah, sedangkan petani atau masyarakat untuk memiliki 2 hektar sangat susah, bahkan harus bertaruh nyawa untuk mendapatkannya.

Oleh karena itu kerja nyata dari pemerintah sangat dinantikan dan tidak hanya menjadikan program ini sebagai bahan jualan kempanye semata. Sawit Watch, sendiri untuk melihat keseriusan pemerintah ini. Sawit Watch juga akan mengajukan permohonan untuk reforma agraria dan perhutanan sosial.

Disamping itu, janji untuk mengeluarkan kebijakan moratorium sawit sejak 2016, sampai saat ini belum terealisasi. Kebijakan yang rencananya akan dikeluarkan dalam bentuk produktivitas perkebunan kelapa sawit belum jelas kapan dikeluarkan. Begitu pula dengan tanah objek reforma agraria sebelum secara jelas dikeluarkan terutama karena tanah terlantar, objek perizinan yang belum dilegalkan maupun dimanfaatkan secara benar.

"Moratorium izin baru perkebunan sawit merupakan sebuah tools yang cukup penting sebagai langkah awal perbaikan tata kelola perkebunan sawit.  namun yang perlu diperhatikan bahwa moratorium tidaklah berdiri sendiri, melainkan harus dibarengi dengan proses monitoring, evaluasi dan audit perizinan secara menyeluruh," imbuh Inda.

Inda menambahkan, terkait dengan Tora ia menilai bahwa hal ini belum berjalan sepenuhnya. terbukti dari target yang ditetapkan pemerintah, sampai saat ini belum setengah dari target tercapai. Kalau pemerintah serius terkait hal ini, salah satu jalan yang juga dapat dijalankan adalah dengan menjadikan semua lahan perkebunan sawit yang sudah selesai masa HGU-nya (Hak Guna Usaha) tidak diperpanjang lagi melainkan dijadikan tanah objek reforma agraria dan prioritas utama diberikan kepada masyarakat.

"Dalam upaya perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit, tentunya dibutuhkan peran semua pihak. Pemahaman yang sama tentang tata kelola perkebunan yang baik dan berkelanjutan sangat dibutuhkan.  Semua ini, tentu perlu didukung dengan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan upaya untuk mencapai perbaikan tersebut, sehingga cita-cita menciptakan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan terwujud," tambahnya.



Sementara Kepala Kampanye Sawit Watch Maryo Saputra menerangkan DPR mengajukan satu kebijakan yaitu Rancangan Undang Undang Perelapasawitan. Alasan mendasar RUU ini digagas adalah untuk melindungi sektor perkebunan sawit yang merupakan penyumbang devisa terbesar bagi negara.

"Sawit menjadi penyumbang devisa terbesar bagi negara, tetapi tidak bisa juga karena menjadi penyumbang terbesar lalu diproteksi luar biasa dan mengabaikan permasalahan di sektor ini, perampasan lahan secara paksa milik masyarakat untuk dijadikan perkebunan menjadi fakta yang tak terbantahkan.

Perlakuan yang tidak adil terhadap buruh perkebunan masih menjadi persoalan tersendiri. Belum lagi persoalan petani sawit dengan harga TBS yang tidak menentu dan cenderung menurun. Fakta-fakta ini tidak bisa dijawab dengan hanya mengeluarkan RUU perkelapasawitan. Draft yang beredar RUU ini hanya melindungi sektor ini dan pengusaha yang ada didalamnya, sedangkan masyarakatnya tidak jelas diatur dalam RUU ini. Oleh karena itu lebih baik menguatkan kebijakan yang sudah ada daripada menciptakan kebijakan baru yang justru menguntungkan segelintir pihak," ucapnya.

Pemateri lokakarya yang berlangsung selama dua hari ini (13-14 Agustus 2018) diantaranya Prof Dr Mochammad Maksum Mahoedz Rektor Universitas Nahdatul Ulama (UNISIA), Dr Ir Doni Janarto Widiantono Dirktur Konsolidasi Tanah Kementrian ATR/BPN, Nurhidayati Direktur WALHI. /red/

 
Share To:

redaksi

Post A Comment: