INFOSEKAYU.COM - Data PMI pada tahun 2016 menyebut 2 dari 10.000 orang yang melakukan transfusi darah terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus). Selain itu, ada 12 di antara 1.000 orang yang terjangkit Hepatitis B dan 4 dari 1.000 yang terkena Hepatitis C akibat transfusi darah.


Padahal sebelum disalurkan kepada pasien, PMI terlebih dahulu melakukan uji screening terhadap darah yang diambil dari donor. Kepala UTD PMI Provinsi DKI Jakarta, dr. Salimar Salim mengungkapkan bisa terjadi kesalahan saat melakukan proses uji darah.

"Alat ini (Nucleic Acid Test atau NAT) kita gunakan dalam rangka mengurangi human error. Karena selama ini, human error-lah yang paling banyak menyebabkan penularan penyakit ini," tuturnya saat ditemui pada acara Seminar Kesehatan PMI di Kantor Walikota Jakarta Timur, Kamis (27/9/2018) seperti dikutip dari detikcom.

Selain ketersediaan alat yang canggih, dr. Salimar juga mengatakan bahwa hal ini juga harus dibarengi dengan sumber daya yang mumpuni. Oleh karena itu SDM juga harus berkualitas dan sebelum menggunakan NAT (Nucleid Acid Test) dilakukan pelatihan selama seminggu.

"Adanya sertifikasi ISO dan BPOM membuat PMI juga lebih berhati-hati dalam mendistribusikan darah. Dengan menggunakan NAT, tingkat kontrol juga menjadi lebih ketat sehingga jika terjadi kesalahan akan cepat terdeteksi," tambahnya.

Untuk lebih mengantisipasi hal tersebut serta meningkatkan keamanan darah, PMI menerapkan uji kombinasi saring NAT dan uji saring serologi untuk mengurangi risiko infeksi menular lewat transfusi darah.

"Dengan adanya uji NAT, rumah sakit tidak perlu lagi melakukan uji ulang terhadap darah yang diterima dari Unit Transfusi Darah PMI," tutupnya. /red/


Share To:

redaksi

Post A Comment: