Infosekayu.com - Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengungkap bahwa pengusaha sawit belum sepakat dengan arahan pemerintah untuk membeli tandan buah segar (TBS) petani seharga Rp 2.000 per kg. Kabar ini menjadi berita yang paling banyak dibaca sepanjang Kamis (4/8).

Selain itu, juga ada kabar soal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyindir perusahaan migas yang meraup laba besar dengan menyebutnya tak bermoral. Berikut rangkuman berita populer di kumparanBisnis.

Pengusaha Belum Sepakat Harga TBS Rp 2.000/Kg

Sekjen GAPKI Eddy Martono mengaku belum ada kesepakatan antara pengusaha dengan pemerintah terkait harga TBS petani sawit.

Eddy mengatakan harga TBS tersebut semuanya tergantung dengan harga crude palm oil (CPO) sehingga pemerintah tidak bisa begitu saja menetapkan harga.

“Belum ada kesepakatan dengan pemerintah, masalah pembelian harga TBS petani semuanya tergantung harga CPO, jadi tidak bisa ditetapkan angka seperti itu,” ujar Eddy kepada kumparan, Kamis, (4/8).

“Sebagai contoh sewaktu itu harga CPO di bulan Maret 2022 Rp 17 ribu harga TBS petani sekitar Rp 3.600-Rp 3.800,” sambungnya.

Padahal, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan sebelumnya menyebut bahwa Presiden Jokowi telah menginstruksikan harga TBS minggu depan sudah harus di atas Rp 2.000 per kg. Zulhas juga meminta para pengusaha untuk wajib menaati aturan yang telah disepakati.

PBB Sindir Perusahaan Migas

Sekjen PBB Antonio Guterres menyebut perusahaan-perusahaan migas global yang meraup laba besar, sebagai tak bermoral. Sebelumnya diberitakan, korporasi migas global bahkan ada yang mencatat rekor keuntungan dalam 14 tahun terakhir.

Raihan untung besar perusahaan-perusahaan minyak dan gas (Migas) di semester I 2022 itu, ditopang lonjakan harga minyak dan gas, serta komoditas energi lainnya. Korporasi tersebut seperti Shell (Inggris), Exxon (Amerika Serikat), BP (Inggris), Chevron (Amerika Serikat), Total (Prancis), dan Saudi Aramco (Arab Saudi).

"Tidak bermoral bagi perusahaan minyak dan gas untuk membuat rekor keuntungan dari krisis energi ini, sementara di sisi lain ada orang-orang miskin yang harus membayar energi lebih mahal," kata Antonio Guterres pada peluncuran laporan ketiga Global Crisis Respons Group (GCRG), dikutip Kamis (4/8).

Dalam hitungan Sekjen PBB, keuntungan total perusahaan energi terbesar pada kuartal pertama tahun ini saja, mendekati USD 100 miliar atau setara Rp 1.500 triliun. Data terbaru per semester I 2022, nilainya bahkan melonjak lagi.

Sebagai kompensasi atas cuan besar perusahaan migas global, Sekjen PBB mengusulkan pengenaan pajak ekstra atas keuntungan tersebut. Skema pajak yang dia usulkan yakni atas setiap 'keuntungan tak terduga', misalnya akibat lonjakan harga komoditas.

Pajak tersebut, kata Sekjen PBB, akan digunakan untuk mengatasi dampak krisis energi pada masyarakat miskin. (Kumparan)

Share To:

redaksi

Post A Comment: