Infosekayu.com - Aturan perundang-undangan silih berganti sejak era reformasi untuk memperbaiki system pengadaan barang/jasa pemerintah di mulia tahun 1999 dengan munculnya UU No. 31 tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi dan UU No. 18 tahun 1999 tentang jasa konstruksi dengan PP No. 28,29 dan 30 tentang masyarakat jasa konstruksi, kemudian disusul dengan Keppres No. 18 tahun 1999 tentang pedoman pengadaanbarang/jasa pemerintah, namun kesemua aturan perundang-undangan tersebut tidaklah mampu membendung nafsu para pejabat yang diberi kuasa oleh Negara mengelola uang Negara untuk pembangunan baik fisik seperti infrastruktur maupun non fisik untuk melakukan korupsi.

Korupsi dari masa ke masa. Kita mulai sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2005. Dimana era ini, sistem pengadaan barang/jasa pemerintah berpedoman pada Keppres 18/1999 yang mana pelelangan masih dilakukan dengan sistem prakulifikasi untuk membuat Daftar Rekanan Terseleksi (DRT). Apabila rekanan sudah masuk DRT maka rekanan tersebut berhak diundang oleh panitia lelang untuk memasukkan penawaran. Dan dengan sistem ini, penawar terendah harus ditunjuk sebagai pemenang jika penawarannya tidak banyak kesalahan. Era ini biasanya paket2 proyek yang ditenderkan yg berskala menengah dan besar diatur oleh pejabat nomor satu di instansi itu sedangkan yang skala kecil atau penunjukan langsung diatur oleh pimpro dan eksekutornya adalah panitia lelang yg menghubungi para pengusaha/kontraktor yg sudah diatur oleh pejabat nomor satu dan pimpro di instansi tersebut yang tentunya komitmen fee sudah sepakat. Dan selanjutnya panitia lelang yg mengkondisikan para rekanan yang dikehendaki dan yg telah diloloskan masuk DRT utk bekerjasama saling bantu menawar paket masing2 yang telah diatur. Di era ini biasanya pengusaha mengeluarkan 10 sampai 15 persen fee tapi komitmen fee diselesaikan setelah pekerjaan selesai kecuali bagian untuk panitia lelang sudah harus diselesaikan

Era tahun 2005 sampai dengan tahun 2010. Era ini pengadaan barang/jasa pemerintah berpedoman pada Keppres No. 80 tahun 2005. Sistem pelelangan era ini berubah menjadi methode pascakulifikasi, yang mana kualifikasi dan penawaran harga menjadi satu dengan kualifikasi memakai sistem passing grade, dengan ambang lulus 70. Eksekusi panitia lelang Mengakali penawaran rekanan yg tidak dikehendaki untuk mengamankan kebijakan atasannya yg telah mengadakan kesepakatan dengan pengusaha dengan komitmen fee yg telah disepakati, kemudian komitmen fee ini sama di era 2000 - 2005. Dan pengumuman pelelangan pengadaan barang/jasa pemerintah di muat di media cetak dan papan pengumuman instansi tersebut.

Bagaimana dengan era sekarang ? Era 2010 sampai saat ini pedoman pengadaan barang/jasa pemerintah berpedoman pada Perpres No. 54 tahun 2011 revisi dari Perpres No. 60 tahun 2010 dimana yg memegang peranan penting membuat petunjuk tehnis pengadaan barang/jasa adalah Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa dari Pemerintah (LKPP) dengan sistem LPSE hal mana semua serba digital, mulai pengumuman pelelangan sampai kepada penetapan pemenang lelang dilakukan melalui internet yg dilakukan oleh Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang menurut aturan dalam Perpres No. 54 unit layanan ini tidak boleh di intervensi, tapi unit ini masih juga bawahan dari pejabat nomor satu di instansi yang akan melakukan pelelangan.

Modus yang dilakukan untuk meraup uang negara terutama proyek yang didanai oleh APBD yakni pejabat nomor satu disuatu daerah memberikan wewenang kepada kepala SKPD/Dinas untuk mengelolah proyek dengan catatan kepala SKPD/Dinas harus menyetor 10 % dari pagu proyek tidak boleh kurang.

Dan kemungkinan hal inilah yang membuat para Kepala SKPD/Dinas untuk mengambil setoran awal kepada pengusaha/kontraktor karena khawatir ada diantara kontraktor yang tidak mau setor jika menunggu hingga selesai proyek dan jika sudah terjadi hal seperti ini, maka demi untuk mengamankan jabatan agar tidak dipecat terpaksa nombok, lalu apa peranan ULP dalam hal ini ? Peranan ULP dalam hal ini sangat sentral untuk mengamankan kerjasama ini. ULP menunggu informasi dari Kepala SKPD/Dinas paket-paket yang sudah selesai komitmen fee di instruksikan kepada ULP agar segera dilakukan pelelangan.

Langkah awal yang dilakukan ULP adalah menghubungi server yang dipakai ULP melakukan pelelangan kemudian menghubungi rekanan/penyedia jasa yang sudah menyetor, kemudian dalam masa waktu upload penawaran sesuai yg tercantum dalam dokument lelang, ada petugas ULP yang ditugaskan ketua ULP

untuk memantau rekanan yang tidak dikehendaki yang bakal mengupload penawaran.
Petugas ini yang memblok situs yg dipakai sehingga terjadi seperti ada error dan upload gagal, begitu seterusnya sampai berakhir masa upload.

Modus seperti ini terjadi tahun 2013, 2014 dan 2015 sebelum server untuk pelelangan daerah kabupaten/kota dan provinsi diambil alih oleh pemerintah pusat.

Untuk mengetahui secara gamblang, kita dapat melihat penawar yang memasukkan penawaran biasanya hanya ada tiga penawar, paling tinggi empat dan biasanya penawaran berkisar 98 % 97 % dan paling rendah 95 % dan biasanya juga yang ditunjuk menjadi pemenang lelang, penawar yang 98 % penawaran yang 97 dan 95 % digugurkan dengan sengaja drngan alasan ada persyaratan yang kurang.

Jika kita ingin mengetahui secara explisit, kita adakan komparasi dengan pelelangan yang dilakukan oleh suatu instansi yakni Balai Wilayah Sungai Sumatera VIII, dimana pelelangan yang dilaksanakan instansi ini sangat bebas dan transparan, kita tidak akan pernah melihat adanya perusahaan yang menawar kurang dari 90 % yang ditunjuk sebagai pemenang, bahkan pada tahun 2016 lalu ada rekanan yang menawar 60 % dari sebuah proyek, ditunjuk sebagai pemenang lelang.

Kesimpulan, dari semua paparan diatas kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa bukti emphiris entry point terjadinya korupsi pada dana pembangunan/pengadaan barsng jasa pemerintah, bermuara pada proses lelang yang di eksekusi oleh panitia lelang/ULP saat proses pelelangan dan terealisasi korupsi itu saat penanda tanganan kontrak.

Dan disini pula nampak pemborosan uang negara yang seharusnya uang negara sebesar 15 - 20 % dari pagu anggaran proyek dapat masuk kembali ke kas negara, setelah ada efisiensi melalui pelelangan, namun uang negara sebesar itu menguap begitu saja, setiap ganti peraturan, mereka ganti modus pula untuk melakukan korupsi. Beginilah modus korupsi birokrat pada dana pembangunan lewat pengadaan barang/jasa pemerintah yg dilakukan oleh pejabat2 dinegeri ini dari masa ke masa sampai saat ini,. Seandainya saja pelelangan proyek2 pemerintah ini dilakukan sesuai dengan tujuannya yakni demi efisiensi anggaran, maka dapat dipastikan untuk regional Sumatera Selatan saja pemerintah bisa mendapatkan feedback dana ratusan milyar, jika tender2 proyek pemerintah dilakukan dengan bebas transparan dan akuntable.

Pencegahan... Jika pencegahan untuk melakukan korupsi pada aparat birokrat yang mengelolah dana pembangunan, tidak cukup dengan hanya menanda tangani fakta integritas dan pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat, BPKP maupun BPK, tapi harus dimulai dari niat tulus, dan diskresi dari puncak pimpinan suatu lembaga/institusi untuk tidak melakukan korupsi dan disertai dengan pengawasan yang sangat ketat oleh team pengawasan terpadu yang melibatkan aparat hukum, lembaga pemeriksa dan institusi tehnis lainnya, dimulai sejak perencanaan sampai dengan proses pelelangan proyek selesai.

Jika selama ini aparat pengawsan hanya terpokus pada kontrak kerja yang sudah berjalan, padahal sangat jarang terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan suatu proyek, jika pun terjadi penyimpangan, dapat dilakukan audit dan seberapa besar penyimpangan yang dilakukan oleh pelaksana, sebesar itu pula pelaksana harus mengembalikan uang negara, sesuai dengan perjanjian kontrak yang ditanda tangani kedua belah pihak antara pengguna jasa dan penyedia jasa yang tunduk pada Hukum Perdata, yakni antara hak dan kewajiban.

Penulis :
Rusmin Manai Gani

Ketua Umum DPD Assosiasi Kontraktor Nasional (ASKONAS)Prov. Sumatera Selatan

(red/sumeks)

http://www.sumeks.co.id/index.php/metropolis/budaya-opini/29244-korupsi-pengadaan-barang-jasa
Share To:

redaksi

Post A Comment: